Table of Contents
ToggleAnalisis Hukum Ketenagakerjaan Qualcomm: Perspektif PHK dalam Sistem Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal oleh Qualcomm di Amerika Serikat yang memengaruhi 226 karyawan di 16 fasilitas pada akhir tahun 2024 menarik perhatian, terutama dalam kaitannya dengan bagaimana praktik serupa diatur di Indonesia. Penting untuk meninjau bagaimana aspek hukum PHK yang dilakukan di AS dibandingkan dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Secara mendasar, meskipun kedua negara memiliki perbedaan dalam sistem hukum, prinsip perlindungan terhadap hak-hak pekerja dalam menghadapi PHK tetap menjadi landasan utama dalam regulasi ketenagakerjaan.
PHK dan Konteks Hukum di Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, PHK besar-besaran seperti yang dilakukan Qualcomm diatur oleh Worker Adjustment and Retraining Notification (WARN) Act. Undang-undang ini mensyaratkan perusahaan dengan 100 karyawan atau lebih untuk memberikan pemberitahuan PHK minimal 60 hari sebelumnya jika melibatkan 50 atau lebih karyawan dalam satu lokasi kerja. WARN Act dirancang untuk memberikan waktu bagi karyawan yang terkena PHK untuk mempersiapkan transisi, baik dengan mencari pekerjaan baru atau mengikuti program pelatihan kerja ulang.
Qualcomm sebagai perusahaan global wajib tunduk pada aturan federal dan negara bagian terkait PHK, termasuk kewajiban memberikan pesangon atau kompensasi bagi karyawan yang terkena dampak, serta memenuhi kewajiban pemberitahuan dini. Kegagalan mematuhi WARN Act dapat menyebabkan perusahaan terkena denda serta tuntutan hukum dari karyawan yang terdampak.
Perbandingan dengan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia
Di Indonesia, kerangka hukum yang mengatur PHK diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang kemudian disempurnakan melalui UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di bawah regulasi ini, PHK harus dilakukan dengan pertimbangan matang serta melalui proses yang memenuhi syarat, termasuk penyelesaian konflik secara damai melalui perundingan bipartit antara pekerja dan pemberi kerja. Jika perundingan gagal, penyelesaian dapat dilakukan melalui mediasi atau pengadilan hubungan industrial.
Ketentuan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan secara eksplisit menyatakan bahwa PHK harus dihindari sejauh mungkin. Sebelum melakukan PHK, perusahaan wajib melakukan musyawarah dengan karyawan atau serikat pekerja untuk mencari solusi yang terbaik. Dalam konteks Qualcomm, jika perusahaan yang beroperasi di Indonesia melakukan PHK massal, mereka juga wajib mengikuti prosedur serupa, termasuk kewajiban untuk memberikan pesangon dan kompensasi lainnya sesuai dengan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.
Kompensasi dan Pesangon dalam Hukum Indonesia
Salah satu aspek terpenting dari PHK di Indonesia adalah kewajiban perusahaan untuk memberikan pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Struktur pesangon ini dirancang untuk memberikan perlindungan finansial kepada karyawan yang di-PHK, terutama dalam masa transisi pekerjaan. Berbeda dengan AS yang lebih fokus pada pemberitahuan dini dan pelatihan kerja ulang, Indonesia lebih menekankan pada kompensasi finansial yang wajib diberikan kepada karyawan sesuai dengan masa kerja dan alasan PHK.
Sebagai contoh, Pasal 156 mengatur secara rinci jumlah pesangon yang harus diberikan kepada karyawan berdasarkan masa kerja. Karyawan dengan masa kerja kurang dari satu tahun berhak mendapatkan pesangon sebesar satu bulan gaji, sementara mereka yang telah bekerja lebih dari delapan tahun dapat menerima hingga sembilan bulan gaji. Selain pesangon, karyawan juga berhak atas uang penghargaan masa kerja yang dapat mencapai dua belas bulan gaji, tergantung masa kerja.
PHK dalam Konteks Perubahan Ekonomi
Alasan di balik PHK massal Qualcomm adalah untuk restrukturisasi perusahaan guna menghadapi tantangan bisnis yang berubah. Dalam sistem hukum ketenagakerjaan Indonesia, PHK karena alasan ekonomi juga diatur secara khusus. Perusahaan harus membuktikan bahwa kondisi ekonomi mereka benar-benar memaksa terjadinya PHK, dan mereka telah melakukan berbagai upaya untuk menghindari PHK, seperti efisiensi biaya dan pengurangan jam kerja.
Di Indonesia, jika PHK dilakukan karena alasan ekonomi, perusahaan masih wajib memberikan pesangon kepada karyawan. Ini adalah perbedaan penting dengan banyak sistem di luar negeri yang mungkin hanya memberikan kompensasi minimal dalam kasus kebangkrutan atau penutupan fasilitas bisnis. Oleh karena itu, karyawan di Indonesia memiliki perlindungan lebih kuat terhadap PHK yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti krisis ekonomi.
Perlindungan Sosial bagi Karyawan yang Terdampak
Seperti halnya di AS, karyawan yang di-PHK di Indonesia berhak atas perlindungan sosial, termasuk program pelatihan ulang atau kompensasi sosial dari BPJS Ketenagakerjaan. Namun, mekanisme ini relatif baru dan terus disempurnakan. Qualcomm, sebagai perusahaan multinasional, perlu memastikan bahwa PHK dilakukan dengan memperhatikan kewajiban untuk menyediakan akses kepada program pelatihan ulang bagi karyawan yang terdampak.
Dalam konteks ini, program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang diatur dalam PP No. 37 Tahun 2021 dapat memberikan tunjangan sementara kepada karyawan yang di-PHK, serta akses kepada pelatihan kerja dan informasi pekerjaan. Program ini dapat membantu meringankan beban karyawan yang kehilangan pekerjaan secara mendadak.
Kesimpulan: Kepatuhan Hukum dan Perlindungan Karyawan
PHK yang dilakukan Qualcomm di AS memberikan gambaran bagaimana perusahaan global menghadapi tantangan restrukturisasi bisnis. Dalam konteks Indonesia, aturan PHK lebih berfokus pada perlindungan karyawan melalui pesangon, mediasi, dan kompensasi sosial. Karyawan yang terkena PHK berhak atas perlindungan hukum yang ketat, termasuk musyawarah bipartit dan, jika perlu, penyelesaian melalui pengadilan hubungan industrial.
Dalam skala global, Qualcomm harus mematuhi ketentuan hukum lokal di setiap negara di mana mereka beroperasi. Perusahaan harus memastikan bahwa PHK dilakukan dengan mematuhi standar hukum ketenagakerjaan yang berlaku, baik di AS maupun Indonesia, guna melindungi hak-hak karyawan dan menjaga reputasi perusahaan di mata hukum dan publik.